DEKLARASI
EKONOMI: USAHA UNTUK MENGATASI KRISIS EKONOMI ORDE LAMA
Pada masa Orde Lama Sukarno kurang memahami beratnya
masalah ekonomi yang dihadapi negara, dan lebih menitikberatkan pada
penyelesaian masalah politik. Menurut Sukarno pembangunan ekonomi
bukanlah bagian penting dari tahapan awal pembentukan nation building. Dengan tegas Sukarno menyatakan bahwa penghapusan
pengaruh Barat secara politik, ekonomi, budaya harus mendapat prioritas utama
sebelum pembangunan ekonomi. Mengenai masalah ekonomi (bidang yang tidak
disukainya), ia pernah menyinggungnya pada peringatan kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1963 dengan mengatakan,
“I
am not an economist, I am a revolutionary, and I am just a revolutionary in
economic matters. My feelings and ideas about the economic question are simple,
very simple indeed. They can be formulated as follows: If nations who
live in a dry and barren desert can solve the problems of their economy, why
can’t we?...I have already issued the Economic Declaration known as Dekon,
and fourteen Government Regulation are also out. Now I say Only: be
patient a while longer, be patient, wait and see!”[1]
(Saya
bukan seorang ahli ekonomi, saya seorang revolusioner, dan saya revolusioner
dalam hal ekonomi. Gagasan dan perasaan saya tentang masalah ekonomi sebenarnya
sangat sederhana. Bisa dirumuskan sebagai berikut: Jika bangsa-bangsa yang
hidup di gurun pasir yang kering dan tandus saja dapat memecahkan masalah
ekonomi mereka, mengapa kita tidak bisa?...saya telah mengeluarkan Deklarasi Ekonomi atau yang dikenal
dengan sebagai Dekon, dan
mengeluarkan empat belas Peraturan Pemerintah. Sekarang saya hanya bisa berkata:
bersabar sebentar, sabar, dan lihatlah nanti).
Untuk mengantisipasi kemerosotan ekonomi yang semakin dalam. Sukarno mengutus Subandrio, Waperdam I dan menteri luar negeri untuk menghubungi Soedjatmoko, dan meminta kesediaannya membantu merumuskan program ekonomi yang baru. Soedjatmoko kemudian menghubungi Sarbini Sumawinata, ahli ekonomi dari Universitas Indonesia dan Kepala BPS pertama Indonesia (1955-1965). Mereka berdua kemudian membuat sebuah program ekonomi yang dikenal dengan nama Deklarasi Ekonomi (Dekon). Deklarasi Ekonomi (Dekon), yang kemudian disebut oleh MPRS sebagai “Manifesto politik perekonomian” Sukarno. Dekon menyerukan bahwa Indonesia berada dalam fase pertama revolusinya, yang memerlukan pembersihan sisa-sisa imperialisme dan feodalisme serta berusaha membangun struktur ekonomi yang berkarakter nasional dan demokratis. Pada intinya, deklarasi itu merupakan tuntutan akan pembangunan yang diprakarsai oleh negara dengan bantuan sebagian dari modal domestik dan internasional (bukan IMF).
Dekon yang diucapkan oleh Presiden Sukarno di istana negara pada tanggal 28 Maret 1963, menerangkan dengan tegas mengenai gagasan Ekonomi Terpimpin. Fokus program ekonomi dalam Dekon adalah dekonsentrasi, yang sesungguhnya mirip dengan apa yang disebut dengan deregulasi dan debirokratisasi yang kemudian digunakan oleh Orde Baru. Pidato ini menekankan pada disiplin anggaran dan rencana perkreditan untuk program stabilisasi harga-harga. Selain itu upaya peningkatan produksi dicapai melalui program rehabilitasi, dekontrolisasi, desentralisasi, debirokrasi dan deregulasi. Prinsip dan hukum ekonomi wajib diperhatikan, sedangkan peranan tingkat harga akan dikembalikan sebagai insentif ekonomi. Peranan dan partisipasi swasta dalam kegiatan ekonomi akan dirangsang, modal asing atas dasar production sharing tidak dilarang sedangkan kredit dan utang luar negeri digunakan untuk menambah keperluan investasi di dalam negeri (Seminar KAMI, 10-20 januari 1966).
Dalam ketetapan MPRS No. XXIII tahun 1966 kata Dekon hanya disebut sekali, yakni dalam konsiderans. Disitu dinyatakan: “mengingat isi dan jiwa bagian Dekon yang dapat memenuhi Tritura dan Ampera. Bagian Dekon yang dianggap memenuhi Tritura dan Ampera itu memang tampak dalam berbagai pasal ketetapan MPRS. Misalnya, ketentuan mengenai potensi dan daya kreasi rakyat sebagai kekuatan ekonomi potensial yang harus dibangkitkan. Demikian pula ketentuan mengenai dekonsentrasi manajemen, khususnya dalam rangka pembangunan daerah. Dekon memang mengandung ketentuan yang baik, akan tetapi di dalamnya tercantum pula hal-hal yang dapat dipakai sebagai bahan gerilya politik. Antara lain, Dekon menyamaratakan begitu saja modal domestik asing (RRC) dengan modal nasional. Selain itu, untuk menanggulangi kesulitan ekonomi perlu tercapai kegotong-royongan nasonal berporoskan nasakom (Nitisastro, 2010: 133-134).
Untuk mengantisipasi kemerosotan ekonomi yang semakin dalam. Sukarno mengutus Subandrio, Waperdam I dan menteri luar negeri untuk menghubungi Soedjatmoko, dan meminta kesediaannya membantu merumuskan program ekonomi yang baru. Soedjatmoko kemudian menghubungi Sarbini Sumawinata, ahli ekonomi dari Universitas Indonesia dan Kepala BPS pertama Indonesia (1955-1965). Mereka berdua kemudian membuat sebuah program ekonomi yang dikenal dengan nama Deklarasi Ekonomi (Dekon). Deklarasi Ekonomi (Dekon), yang kemudian disebut oleh MPRS sebagai “Manifesto politik perekonomian” Sukarno. Dekon menyerukan bahwa Indonesia berada dalam fase pertama revolusinya, yang memerlukan pembersihan sisa-sisa imperialisme dan feodalisme serta berusaha membangun struktur ekonomi yang berkarakter nasional dan demokratis. Pada intinya, deklarasi itu merupakan tuntutan akan pembangunan yang diprakarsai oleh negara dengan bantuan sebagian dari modal domestik dan internasional (bukan IMF).
Dekon yang diucapkan oleh Presiden Sukarno di istana negara pada tanggal 28 Maret 1963, menerangkan dengan tegas mengenai gagasan Ekonomi Terpimpin. Fokus program ekonomi dalam Dekon adalah dekonsentrasi, yang sesungguhnya mirip dengan apa yang disebut dengan deregulasi dan debirokratisasi yang kemudian digunakan oleh Orde Baru. Pidato ini menekankan pada disiplin anggaran dan rencana perkreditan untuk program stabilisasi harga-harga. Selain itu upaya peningkatan produksi dicapai melalui program rehabilitasi, dekontrolisasi, desentralisasi, debirokrasi dan deregulasi. Prinsip dan hukum ekonomi wajib diperhatikan, sedangkan peranan tingkat harga akan dikembalikan sebagai insentif ekonomi. Peranan dan partisipasi swasta dalam kegiatan ekonomi akan dirangsang, modal asing atas dasar production sharing tidak dilarang sedangkan kredit dan utang luar negeri digunakan untuk menambah keperluan investasi di dalam negeri (Seminar KAMI, 10-20 januari 1966).
Dalam ketetapan MPRS No. XXIII tahun 1966 kata Dekon hanya disebut sekali, yakni dalam konsiderans. Disitu dinyatakan: “mengingat isi dan jiwa bagian Dekon yang dapat memenuhi Tritura dan Ampera. Bagian Dekon yang dianggap memenuhi Tritura dan Ampera itu memang tampak dalam berbagai pasal ketetapan MPRS. Misalnya, ketentuan mengenai potensi dan daya kreasi rakyat sebagai kekuatan ekonomi potensial yang harus dibangkitkan. Demikian pula ketentuan mengenai dekonsentrasi manajemen, khususnya dalam rangka pembangunan daerah. Dekon memang mengandung ketentuan yang baik, akan tetapi di dalamnya tercantum pula hal-hal yang dapat dipakai sebagai bahan gerilya politik. Antara lain, Dekon menyamaratakan begitu saja modal domestik asing (RRC) dengan modal nasional. Selain itu, untuk menanggulangi kesulitan ekonomi perlu tercapai kegotong-royongan nasonal berporoskan nasakom (Nitisastro, 2010: 133-134).
[1] Lihat, John Bresnan, Never Before Had Five University
Professors Done So Much in So Short a Time To Resurrect The Economic
Fortune of a Great Nation, in M. Arsjad Anwar, et.al., eds. 2007. Tributes For Widjojo Nitisastro by Friends
from 27 Foreign Countries. Jakarta: Kompas, p. 73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar