Kamis, 22 September 2011

SEPUTAR MALARI 1974

Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974


Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka dalam rangka meningkatkan kerjasama kedua negara disambut oleh demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta. Demonstrasi dengan cepat berubah menjadi kerusuhan terbuka. Demo ini kemudian diboncengi oleh para preman dan kaum miskin yang melakukan perusakan dan penjarahan serta pembakaran komplek pertokoan di Jakarta (Glodok dan Senen). Kerusuhan berakibat 11 orang meninggal, hampir 200 orang terluka berat, dan lebih dari 800 orang ditahan. Jakarta, ketika itu menjadi lautan api akibat pembakaran mobil-mobil buatan Jepang yang terlihat di sepanjang jalan. Masyarakat umum menilai kejadian tersebut sebagai sebuah gerakan anti-Jepang dan kemudian dikenal sebagai peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). 

Sejumlah interpretasi mengenai faktor pemicu peristiwa tersebut kemudian muncul. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Versi pertama hanya memandang peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa Indonesia menentang penetrasi dan dominasi modal asing yang berlebihan terutama Jepang. Veri kedua memandang terjadinya peristiwa Malari sebagai bentuk ketidaksukaan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Soeharto, terutama Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani yang memiliki kekuasaan terlalu besar. Dan versi terakhir diduga karena adanya persaingan elit militer antara Brigjen Ali Murtopo dan Jenderal Soemitro. 

Versi pertama menyebut Malari  hanya sebatas upaya sekelompok mahasiswa untuk menolak dominasi bangsa asing (terutama Jepang) dalam perekonomian Indonesia. Diantara tokoh mahasiawa yang terkenal adalah seorang aktivis yang juga Ketua DMUI, Hariman Siregar. Dengan Malari, mahasiwa Indonesia seakan mengingatkan Soeharto tentang lonceng kematian industri lokal seandainya produk dan modal asing dibiarkan melenggang di pasar Indonesia. Kepala Opsus, Ali Murtopo kemudian menuding Soemitro menunggangi protes mahasiswa untuk merebut kekuasaan dengan jalan menginflitrasi dan memprovokasi mahasiswa untuk melakukan tindak kekerasan.Yang kemudian masih menjadi teka-teki adalah kenapa harus investasi Jepang yang menjadi sasaran kritik mahasiswa, bukan investasi Amerika, Inggris atau Belanda. Padahal dari segi kuantitas, investasi negara lain seperti Amerika Serikat misalnya, pada saat itu jauh melebihi Jepang. Alasanya barangkali karena bentuk investasi Jepang lebih kasat mata dan menarik perhatian. Sebagai contoh, Jepang lebih memilih investasi dalam industri perakitan mobil dan pembangunan hotel-hotel mewah di Jakarta, sedangkan Amerika lebih memilih aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai dan penambangan emas di hutan-hutan Papua, jauh dari pusat kota.

Mengenai versi kedua berhubungan dengan bentrokan antara kelompok Ali Murtopo dengan kelompok teknokrat ekonomi. Bermula dari upaya Ali Murtopo dalam mencetuskan konsep “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun”. Konsep ini kemudian diterima Soeharto sebagai kebijakan jangka panjang pemerintah. Ali Murtopo kecewa karena yang terpilih sebagai pelaksana dari konsep pembangunan tersebut adalah Widjojo Nitisastro cs. Dalam pandangan Soeharto, kelompok Widjojo lebih dipercaya karena yang dianggapnya memiliki reputasi yang jelas dalam hal pembuatan kebijakan ekonomi. Akan tetapi, dalam sebuah biografi Jenderal Soemitro sebagaimana dituturkan kepada Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74,  Widjojo mengatakan bahwa dirinya tidak memperhatikan dan terpengaruh oleh adanya konsep akselerasi modernisasi dari Ali Murtopo. Rencana pembangunan yang dibagi bagi kedalam Repelita dan rencana anggaran tahunan (APBN) murni seratus persen dikerjakan oleh dirinya dan beberapa ekonom di kelompoknya. Sikap Soeharto sendiri yang mendua terhadap konsep pembangunan ekonomi pada akhirnya menyulut divergensi dan gesekan yang kontinyu antara kelompok teknokrat ekonomi pimpinan Widjojo dengan kelompok Ali Murtopo dengan lembaga CSIS-nya. Gesekan kepentingan antara dua kubu itu ternyata terus meruncing dan semakin terdengar keras gaungnya. Jenderal Soemitro dalam hal ini bertindak melindungi kelompok teknokrat dengan alasan agar kelompok ekonom tersebut dapat menyusun dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi dengan baik. Atas tindakannya ini, Jenderal Soemitro menjadi sasaran tembak Ali Murtopo.

Versi lain yang cukup dominan mengenai penyebab kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan rivalitas elit militer yang berada di sekeliling Presiden Soeharto, yakni Jenderal Soemitro (waktu itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin, Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi khusus). Jenderal Soemitro menyebut Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dengan sebutan free wheelers, yaitu orang yang langsung dikendalikan sang pemimpin dan mempunyai akses ke mana-mana. Mereka tidak memiliki organisasi, tetapi memiliki mandat penuh dari pimpinan dan bisa berhubungan dengan siapa saja atas nama pimpinan. Rivalitas antara Jenderal Sumitro dan Ali Murtopo dan sering diidentikkan dengan konflik antar beberapa lembaga ekstra konstitusional di lingkaran kekuasaan Soeharto, yaitu Aspri-Opsus versus Kopkamtib-Bakin. Selain sikap Soemitro yang terkesan melindungi kelompok Widjojo, adanya rivalitas ini sebenarnya juga terkait erat dengan ambisi Ali Murtopo untuk menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan (baca: presiden). Mereka saling menuduh satu sama lain mengenai keinginan dan ambisi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada masa-masa itu, persaingan antara Soemitro dan Ali Murtopo merupakan salah satu sumber gosip politik yang mengasyikkan dan sekaligus memprihatinkan. Menurut pengamat militer Indonesia, Salim Said, Peristiwa Malari bukan saja merupakan huru-hara anti-Jepang yang menyebabkan  kerusakan hebat dan korban jiwa, tetapi juga bisa dilihat sebagai konflik internal militer yang terlemparkan ke permukaan.

Usai demonstrasi yang disertai kerusuhan hebat, Soeharto mengambil tindakan tegas terhadap lembaga dan jabatan ekstra-institusional tersebut. Dalam kenyataannya, lembaga-lembaga (Opsus, Kopkamtib) tersebut memang kurang efektif di masa damai dan seringkali tumpang tindih (overlapping) dengan wilayah kerja lembaga resmi seperti Bakin. Soeharto memberhentikan dan mengambil alih jabatan Pangkopkamtib dari Soemitro, Aspri Presiden dibubarkan, dan Kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara)[1], Soetopo Juwono diganti oleh Yoga Sugama, seorang kawan dekat Soeharto semasa di Kodam Diponegoro dan Kostrad. Pasca Malari, Sumitro yang seperti menghilang dari panggung kekuasaan. Ia pun menolak tawaran Soeharto sebagai Dubes RI di Washington. Berbeda dengan Soemitro, Ali Murtopo terus membantu Soeharto, walaupun peranannya menjadi semakin tidak berarti. Setelah sempat menjadi Menteri Penerangan selama satu periode, ia dimasukkan ke DPA yang saran, nasihat dan pertimbangannya tidak pernah dihiraukan oleh Soeharto. Pemindahannya ke DPA pada dasarnya merupakan sebuah upaya Soeharto untuk menyingkirkan Ali Murtopo dari percaturan politik. Ali Murtopo meninggal sebagai seorang yang kecewa pada 15 Mei 1984.

Beberapa saat pasca-Malari, pada pagi hari tanggal 17 Januari 1974, dengan menggunakan helikopter, Soeharto mengantarkan pulang tamu perdana menterinya dengan perasaan yang sangat malu. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut Peristiwa Malari sebagai salah satu tonggak kekerasan Orde Baru. Dan sejak saat itu tindakan represif berupa sanksi tak berampun bagi para pengacau stabilitas negara dijalankan lebih sistematis. Menurut salah satu sumber yang berasal dari kalangan yang dekat dengan lingkaran kekuasaan Orde Baru, diceritakan bahwa Soeharto sangat terguncang dengan peristiwa Malari, dan mengatakan dengan mata yang berkaca-kaca kalau dirinya tidak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. Sampai sekarang, peristiwa Malari tetap merupakan sisi gelap sejarah yang belum bisa diungkap sepenuhnya.

Referensi
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta:  Kompas Media Nusantara
Aly, Rum.  2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974. Jakarta: Kompas 
Cahyono, Heru. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Elson, R.E. 2001. Soeharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Minda
Mallarangeng, Rizal. 2004. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG dan Freedom Institute
Ramadhan K.H. 1994. Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Said, Salim. 2003. “Soeharto dan Militer”. Dalam Muhamad Hisyam, ed.  2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru, hal. 144-183. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia



[1] Pada masa Orde Lama lembaga ini bernama Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dipimpin oleh Dr. Subandrio


Tidak ada komentar:

Posting Komentar