Rabu, 21 September 2011

SANERING: UPAYA PEMERINTAH MENGATASI LONJAKAN HARGA-HARGA

Pada tanggal 21 Desember 1949, Mohammad Hatta sebagai perdana menteri mengumumkan kabinetnya, yang merupakan kabinet pertama bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Program Kabinet  Hatta ialah melaksanakan hasil kesepakatan dalam Perundingan Renville yang dibuat oleh Amir Sjarifuddin dengan perantaraan KTN, melakukan reorganisasi dan rasionalisasi tentara serta sedapat mungkin melaksanakan pembangunan ekonomi. Pada saat itu, Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat sebagai menteri keuangan dalam Kabinet Hatta bertugas antara lain memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan; mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kerja di masyarakat,  membuat peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran rakyat. 


Kabinet Hatta merupakan satu-satunya kabinet dalam sejarah politik Indonesia yang dipimpin oleh seorang pakar ekonomi profesional. Walaupun Kabinet Hatta memberi perhatian utama pada pengintegrasian secara politis wilayah-wilayah Indonesia ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), perhatiannya terhadap masalah ekonomi cukup besar. Ideologi atau paham nasionalisme ekonomi yang telah disepakati oleh para pendiri negara (the founding fathers) negara Indonesia merdeka pada saat itu adalah paham bersama untuk merombak ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Nasionalisme ekonomi disini diartikan sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk mengisolasi perekonomian dari pengaruh-pengaruh asing.


Dalam bidang keuangan, tindakan penting yang dilakukan kabinet ini antara lain reformasi moneter melalui devaluasi (penurunan kurs mata uang) dan pemotongan uang beredar (dalam arti harfiah). Devaluasi nilai tukar rupiah dilakukan pada 18 September 1949 sebesar 30, 20% yaitu dari US $ 1 = Rp 2,65 menjadi US $ 1 = Rp 3,80. Dan untuk mengatasi kondisi lonjakan harga-harga yang begitu tinggi, pada masa kabinet ini dilakukan tindakan moneter yang cukup kontroversial, yaitu pembersihan uang atau Gunting Sjafruddin. Tindakan moneter ini dinamakan sanering. Sanering sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata‘geld sanering politiek’ yang secara harfiah berarti politik penyehatan, pembersihan atau penataan kembali uang. Sanering diberlakukan pada 19 Maret 1950, pada saat itu semua uang kertas de Javasche Bank pecahan lima rupiah dan uang NICA pecahan 2,50 gulden ke atas digunting menjadi dua. Bagian kiri berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dan dinilai separuhnya dari nilai semula sampai dengan tanggal 9 Agustus 1950 pukul 18.00. Sementara itu, guntingan kanan dan simpanan di bank ditukar dengan obligasi negara (yang akan dibayar empat puluh tahun kemudian) dengan bunga 3% per tahun. Jadi, Sanering tidak mengubah pecahan mata uang, tetapi hanya nilainya yang turun.


Sanering merupakan suatu tindakan yang menurut penuturan Sjafruddin sendiri berasal dari gagasan orang Yunani untuk memulihkan kepercayaan umum terhadap sistem moneter. Sanering memang diberlakukan dalam kondisi darurat dan ketika perekonomian dalam kondisi tidak stabil. Walaupun banyak dikritik, kebijakan sanering di Indonesia dalam jangka pendek sebenarnya telah berhasil secara kuantitatif dalam mencapai target, karena secara drastis telah mengurangi jumlah uang penyebab inflasi. Selain itu dengan Sanering juga pemerintah berhasil menggali dana pinjaman masyarakat sebagai penerimaan negara melalui penjualan obligasi negara atau pinjaman dalam negeri . Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama, karena meskipun pada awalnya peredaran uang berhasil diturunkan sampai sekitar 40% dan laju inflasi relatif tertekan, namun kemudian jumlah uang beredar dan inflasi kembali meningkat ke tingkat semula.

Referensi:
Rahardjo, M. Dawam. 1995. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES
Rosidi, Ajip. 2011. Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah Swt. Jakarta: Pustaka jaya
Thee Kian Wie, ed. 2005. Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Jakarta: Kompas dan Freedom Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar