Minggu, 25 September 2011

MASA DEMOKRASI LIBERAL

Kabinet Natsir dalam Pembangunan
Ekonomi Indonesia

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) merupakan kabinet pertama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kabinet pertama pada masa demokrasi liberal (demokrasi konstitusional). Walaupun berumur singkat (sekitar 6 bulan), Kabinet Natsir adalah kabinet  yang paling banyak memberikan perhatian pada usaha perbaikan di bidang ekonomi. Di bawah Kabinet Natsir, persoalan-persoalan ekonomi, moneter dan perbankan mulai dilihat dengan kacamata yang lebih teknis dan profesional. Pada saat itu, pemerintah langsung dihadapkan kepada masalah ekonomi-moneter seperti tingginya laju inflasi akibat meningkatnya jumlah uang beredar dan juga defisit ganda (APBN dan Neraca Pembayaran). Kabinet yang dibentuk berdasarkan UUDS 1950 ini merupakan zaken kabinet (kabinet ahli). Kabinet ini mencantumkan antara lain beberapa program ekonomi yaitu pertama, usaha yang berkaitan dengan mengembangkan dan memperkokoh ekonomi kerakyatan sebagai dasar ekonomi nasional yang sehat melalui pengaturan hubungan buruh dan majikan serta kedua usaha yang berkaitan dengan pembangunan perumahan rakyat. 


Sjafruddin Prawiranegara yang pada saat itu menjabat sebagai menteri keuangan memiliki kebijakan yang konsekuen dan sejalan dengan konsentrasi kabinet Natsir terhadap kebutuhan-kebutuhan bagi pembangunan kembali perekonomian dan pemulihan keamanan. Begitu pun Sumitro Djojohadikusumo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dengan tegas mengatakan bahwa Ia ingin mengembangkan kekuatan ekonomi pribumi Indonesia di bidang perdagangan dan perindustrian. Dalam hal ini Sumitro mengatakan,“adalah suatu penyimpangan dari cita-cita kemerdekaan jika kekuatan ekonomi pribumi tidak mendapat prioritas untuk dikembangkan”. Untuk tujuan ini, Kabinet Natsir kemudian meluncurkan Rencana Urgensi Industri sebagai upaya untuk mengembangkan industri nasional pribumi yang didahului dengan Program Benteng. Untuk memfasilitasi pelaksanaan program pembangunan ini, pemerintah mendirikan Bank Industri Negara (BIN), menata kembali Bank Rakyat dan Bank Negara Indonesia (BNI).  


Kabinet Natsir beruntung karena berhasil memanfaatkan situasi Perang Korea untuk kepentingan pembangunan. Kondisi eksternal yang menguntungkan tersebut melahirkan istilah Korean Boom, yaitu meningkatnya ekspor komoditas strategis Indonesia (terutama karet) kepada Amerika Serikat sehingga mampu mengatasi kesulitan dalam anggaran pemerintah maupun  neraca pembayaran Indonesia. Pada saat terjadi Perang Korea (Juni 1950), pendapatan Indonesia dari ekspor karet dan minyak bumi melonjak yang menyebabkan terjadinya surplus dalam anggaran belanja pemerintah tahun 1951. Natsir pernah dikecam oleh para politisi yang mengejar kekuasaan politik di Jakarta karena menolak untuk menggunakan pendapatan-pendapatan tersebut untuk keuntungan mereka. Sayangnya, pengaruh baik eksternal ini tidak bertahan lama. Tambahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh 'rezeki nomplok' akibat perang itu hanya berlangsung sesaat, karena kemudian diikuti oleh melonjaknya keinginan konsumtif (pemerintah dan swasta) untuk mengimpor barang yang menguras devisa yang ada. Melonjaknya impor yang disertai dengan kenaikan upah dan harga-harga telah meningkatkan laju inflasi, sehingga ekspor pun tidak kompetitif lagi. Kondisi seperti ini merupakan suatu fenomena yang belakangan dikenal sebagai sindrom Dutch Diseases (gejala perekonomian yang hanya bertumpu pada satu sektor). Pendapatan tambahan devisa ini begitu cepatnya menguap, sehingga anggaran belanja 1952 mengalami defisit lebih besar dari tahun 1950. Dengan demikian, setelah Korean boom berakhir dan bertukar dengan Korean slump, kondisi ekonomi kembali mengalami kemunduran karena harga bahan-bahan strategis termasuk karet Indonesia menjadi merosot tajam. Dengan kemunduran di bidang ekonomi itu, pemerintah mengahadap defisit hingga mencapai Rp 9 milyar (sebuah angka yang cukup besar pada saat itu). 

Untuk menghindari inflasi yang tinggi di dalam negeri, pemerintah melakukan liberalisasi impor dan pengetatan anggaran. Kredit yang diperketat untuk perusahaan asing, dan kemudahan memperoleh kredit untuk perusahaan pribumi nasional. Kombinasi kebijakan fiskal yang ketat dan penerimaan yang tinggi dari ekspor sempat menghasilkan surplus anggaran yang cukup besar pada tahun 1951. Akan tetapi, hanya pada tahun itulah APBN mengalami surplus. Seterusnya anggaran negara mengalami defisit, sekalipun beberapa kabinet berusaha keras untuk menguranginya. Dengan demikian, prestasi terbesar kabinet ini adalah pencapaian surplus anggaran dan perbaikan neraca pembayaran. 

Enam bulan setelah mengucapkan sumpah sebagai perdana menteri, kabinet Natsir jatuh. Salah satu penyebab kejatuhannya yaitu bahwa isu mengenai masalah Irian Barat tidak hanya menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Indonesia pasca pengakuan kedaulatan, tetapi juga telah dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya di dalam negeri untuk melawan Natsir.


Referensi
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Glassburner, Bruce. 2007. The Economy of Indonesia: Selected Readings. Jakarta: Equinox Publishing
Notosusanto, Nugroho et.al., ed. 1991. Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Ricklefs, M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
 



Kamis, 22 September 2011

SEPUTAR MALARI 1974

Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974


Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka dalam rangka meningkatkan kerjasama kedua negara disambut oleh demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta. Demonstrasi dengan cepat berubah menjadi kerusuhan terbuka. Demo ini kemudian diboncengi oleh para preman dan kaum miskin yang melakukan perusakan dan penjarahan serta pembakaran komplek pertokoan di Jakarta (Glodok dan Senen). Kerusuhan berakibat 11 orang meninggal, hampir 200 orang terluka berat, dan lebih dari 800 orang ditahan. Jakarta, ketika itu menjadi lautan api akibat pembakaran mobil-mobil buatan Jepang yang terlihat di sepanjang jalan. Masyarakat umum menilai kejadian tersebut sebagai sebuah gerakan anti-Jepang dan kemudian dikenal sebagai peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974). 

Sejumlah interpretasi mengenai faktor pemicu peristiwa tersebut kemudian muncul. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Versi pertama hanya memandang peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa Indonesia menentang penetrasi dan dominasi modal asing yang berlebihan terutama Jepang. Veri kedua memandang terjadinya peristiwa Malari sebagai bentuk ketidaksukaan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Soeharto, terutama Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani yang memiliki kekuasaan terlalu besar. Dan versi terakhir diduga karena adanya persaingan elit militer antara Brigjen Ali Murtopo dan Jenderal Soemitro. 

Versi pertama menyebut Malari  hanya sebatas upaya sekelompok mahasiswa untuk menolak dominasi bangsa asing (terutama Jepang) dalam perekonomian Indonesia. Diantara tokoh mahasiawa yang terkenal adalah seorang aktivis yang juga Ketua DMUI, Hariman Siregar. Dengan Malari, mahasiwa Indonesia seakan mengingatkan Soeharto tentang lonceng kematian industri lokal seandainya produk dan modal asing dibiarkan melenggang di pasar Indonesia. Kepala Opsus, Ali Murtopo kemudian menuding Soemitro menunggangi protes mahasiswa untuk merebut kekuasaan dengan jalan menginflitrasi dan memprovokasi mahasiswa untuk melakukan tindak kekerasan.Yang kemudian masih menjadi teka-teki adalah kenapa harus investasi Jepang yang menjadi sasaran kritik mahasiswa, bukan investasi Amerika, Inggris atau Belanda. Padahal dari segi kuantitas, investasi negara lain seperti Amerika Serikat misalnya, pada saat itu jauh melebihi Jepang. Alasanya barangkali karena bentuk investasi Jepang lebih kasat mata dan menarik perhatian. Sebagai contoh, Jepang lebih memilih investasi dalam industri perakitan mobil dan pembangunan hotel-hotel mewah di Jakarta, sedangkan Amerika lebih memilih aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai dan penambangan emas di hutan-hutan Papua, jauh dari pusat kota.

Mengenai versi kedua berhubungan dengan bentrokan antara kelompok Ali Murtopo dengan kelompok teknokrat ekonomi. Bermula dari upaya Ali Murtopo dalam mencetuskan konsep “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun”. Konsep ini kemudian diterima Soeharto sebagai kebijakan jangka panjang pemerintah. Ali Murtopo kecewa karena yang terpilih sebagai pelaksana dari konsep pembangunan tersebut adalah Widjojo Nitisastro cs. Dalam pandangan Soeharto, kelompok Widjojo lebih dipercaya karena yang dianggapnya memiliki reputasi yang jelas dalam hal pembuatan kebijakan ekonomi. Akan tetapi, dalam sebuah biografi Jenderal Soemitro sebagaimana dituturkan kepada Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74,  Widjojo mengatakan bahwa dirinya tidak memperhatikan dan terpengaruh oleh adanya konsep akselerasi modernisasi dari Ali Murtopo. Rencana pembangunan yang dibagi bagi kedalam Repelita dan rencana anggaran tahunan (APBN) murni seratus persen dikerjakan oleh dirinya dan beberapa ekonom di kelompoknya. Sikap Soeharto sendiri yang mendua terhadap konsep pembangunan ekonomi pada akhirnya menyulut divergensi dan gesekan yang kontinyu antara kelompok teknokrat ekonomi pimpinan Widjojo dengan kelompok Ali Murtopo dengan lembaga CSIS-nya. Gesekan kepentingan antara dua kubu itu ternyata terus meruncing dan semakin terdengar keras gaungnya. Jenderal Soemitro dalam hal ini bertindak melindungi kelompok teknokrat dengan alasan agar kelompok ekonom tersebut dapat menyusun dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi dengan baik. Atas tindakannya ini, Jenderal Soemitro menjadi sasaran tembak Ali Murtopo.

Versi lain yang cukup dominan mengenai penyebab kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan rivalitas elit militer yang berada di sekeliling Presiden Soeharto, yakni Jenderal Soemitro (waktu itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin, Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi khusus). Jenderal Soemitro menyebut Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dengan sebutan free wheelers, yaitu orang yang langsung dikendalikan sang pemimpin dan mempunyai akses ke mana-mana. Mereka tidak memiliki organisasi, tetapi memiliki mandat penuh dari pimpinan dan bisa berhubungan dengan siapa saja atas nama pimpinan. Rivalitas antara Jenderal Sumitro dan Ali Murtopo dan sering diidentikkan dengan konflik antar beberapa lembaga ekstra konstitusional di lingkaran kekuasaan Soeharto, yaitu Aspri-Opsus versus Kopkamtib-Bakin. Selain sikap Soemitro yang terkesan melindungi kelompok Widjojo, adanya rivalitas ini sebenarnya juga terkait erat dengan ambisi Ali Murtopo untuk menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan (baca: presiden). Mereka saling menuduh satu sama lain mengenai keinginan dan ambisi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada masa-masa itu, persaingan antara Soemitro dan Ali Murtopo merupakan salah satu sumber gosip politik yang mengasyikkan dan sekaligus memprihatinkan. Menurut pengamat militer Indonesia, Salim Said, Peristiwa Malari bukan saja merupakan huru-hara anti-Jepang yang menyebabkan  kerusakan hebat dan korban jiwa, tetapi juga bisa dilihat sebagai konflik internal militer yang terlemparkan ke permukaan.

Usai demonstrasi yang disertai kerusuhan hebat, Soeharto mengambil tindakan tegas terhadap lembaga dan jabatan ekstra-institusional tersebut. Dalam kenyataannya, lembaga-lembaga (Opsus, Kopkamtib) tersebut memang kurang efektif di masa damai dan seringkali tumpang tindih (overlapping) dengan wilayah kerja lembaga resmi seperti Bakin. Soeharto memberhentikan dan mengambil alih jabatan Pangkopkamtib dari Soemitro, Aspri Presiden dibubarkan, dan Kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara)[1], Soetopo Juwono diganti oleh Yoga Sugama, seorang kawan dekat Soeharto semasa di Kodam Diponegoro dan Kostrad. Pasca Malari, Sumitro yang seperti menghilang dari panggung kekuasaan. Ia pun menolak tawaran Soeharto sebagai Dubes RI di Washington. Berbeda dengan Soemitro, Ali Murtopo terus membantu Soeharto, walaupun peranannya menjadi semakin tidak berarti. Setelah sempat menjadi Menteri Penerangan selama satu periode, ia dimasukkan ke DPA yang saran, nasihat dan pertimbangannya tidak pernah dihiraukan oleh Soeharto. Pemindahannya ke DPA pada dasarnya merupakan sebuah upaya Soeharto untuk menyingkirkan Ali Murtopo dari percaturan politik. Ali Murtopo meninggal sebagai seorang yang kecewa pada 15 Mei 1984.

Beberapa saat pasca-Malari, pada pagi hari tanggal 17 Januari 1974, dengan menggunakan helikopter, Soeharto mengantarkan pulang tamu perdana menterinya dengan perasaan yang sangat malu. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut Peristiwa Malari sebagai salah satu tonggak kekerasan Orde Baru. Dan sejak saat itu tindakan represif berupa sanksi tak berampun bagi para pengacau stabilitas negara dijalankan lebih sistematis. Menurut salah satu sumber yang berasal dari kalangan yang dekat dengan lingkaran kekuasaan Orde Baru, diceritakan bahwa Soeharto sangat terguncang dengan peristiwa Malari, dan mengatakan dengan mata yang berkaca-kaca kalau dirinya tidak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. Sampai sekarang, peristiwa Malari tetap merupakan sisi gelap sejarah yang belum bisa diungkap sepenuhnya.

Referensi
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta:  Kompas Media Nusantara
Aly, Rum.  2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter: Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974. Jakarta: Kompas 
Cahyono, Heru. 1998. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Elson, R.E. 2001. Soeharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Minda
Mallarangeng, Rizal. 2004. Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992. Jakarta: KPG dan Freedom Institute
Ramadhan K.H. 1994. Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Said, Salim. 2003. “Soeharto dan Militer”. Dalam Muhamad Hisyam, ed.  2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru, hal. 144-183. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia



[1] Pada masa Orde Lama lembaga ini bernama Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dipimpin oleh Dr. Subandrio


Rabu, 21 September 2011

SANERING: UPAYA PEMERINTAH MENGATASI LONJAKAN HARGA-HARGA

Pada tanggal 21 Desember 1949, Mohammad Hatta sebagai perdana menteri mengumumkan kabinetnya, yang merupakan kabinet pertama bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Program Kabinet  Hatta ialah melaksanakan hasil kesepakatan dalam Perundingan Renville yang dibuat oleh Amir Sjarifuddin dengan perantaraan KTN, melakukan reorganisasi dan rasionalisasi tentara serta sedapat mungkin melaksanakan pembangunan ekonomi. Pada saat itu, Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat sebagai menteri keuangan dalam Kabinet Hatta bertugas antara lain memperbaiki keadaan ekonomi rakyat, keadaan keuangan, perhubungan, perumahan dan kesehatan; mengadakan persiapan untuk jaminan sosial dan penempatan tenaga kerja di masyarakat,  membuat peraturan tentang upah minimum, pengawasan pemerintah atas kegiatan ekonomi agar terwujud kemakmuran rakyat. 


Kabinet Hatta merupakan satu-satunya kabinet dalam sejarah politik Indonesia yang dipimpin oleh seorang pakar ekonomi profesional. Walaupun Kabinet Hatta memberi perhatian utama pada pengintegrasian secara politis wilayah-wilayah Indonesia ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS), perhatiannya terhadap masalah ekonomi cukup besar. Ideologi atau paham nasionalisme ekonomi yang telah disepakati oleh para pendiri negara (the founding fathers) negara Indonesia merdeka pada saat itu adalah paham bersama untuk merombak ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Nasionalisme ekonomi disini diartikan sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk mengisolasi perekonomian dari pengaruh-pengaruh asing.


Dalam bidang keuangan, tindakan penting yang dilakukan kabinet ini antara lain reformasi moneter melalui devaluasi (penurunan kurs mata uang) dan pemotongan uang beredar (dalam arti harfiah). Devaluasi nilai tukar rupiah dilakukan pada 18 September 1949 sebesar 30, 20% yaitu dari US $ 1 = Rp 2,65 menjadi US $ 1 = Rp 3,80. Dan untuk mengatasi kondisi lonjakan harga-harga yang begitu tinggi, pada masa kabinet ini dilakukan tindakan moneter yang cukup kontroversial, yaitu pembersihan uang atau Gunting Sjafruddin. Tindakan moneter ini dinamakan sanering. Sanering sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata‘geld sanering politiek’ yang secara harfiah berarti politik penyehatan, pembersihan atau penataan kembali uang. Sanering diberlakukan pada 19 Maret 1950, pada saat itu semua uang kertas de Javasche Bank pecahan lima rupiah dan uang NICA pecahan 2,50 gulden ke atas digunting menjadi dua. Bagian kiri berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dan dinilai separuhnya dari nilai semula sampai dengan tanggal 9 Agustus 1950 pukul 18.00. Sementara itu, guntingan kanan dan simpanan di bank ditukar dengan obligasi negara (yang akan dibayar empat puluh tahun kemudian) dengan bunga 3% per tahun. Jadi, Sanering tidak mengubah pecahan mata uang, tetapi hanya nilainya yang turun.


Sanering merupakan suatu tindakan yang menurut penuturan Sjafruddin sendiri berasal dari gagasan orang Yunani untuk memulihkan kepercayaan umum terhadap sistem moneter. Sanering memang diberlakukan dalam kondisi darurat dan ketika perekonomian dalam kondisi tidak stabil. Walaupun banyak dikritik, kebijakan sanering di Indonesia dalam jangka pendek sebenarnya telah berhasil secara kuantitatif dalam mencapai target, karena secara drastis telah mengurangi jumlah uang penyebab inflasi. Selain itu dengan Sanering juga pemerintah berhasil menggali dana pinjaman masyarakat sebagai penerimaan negara melalui penjualan obligasi negara atau pinjaman dalam negeri . Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama, karena meskipun pada awalnya peredaran uang berhasil diturunkan sampai sekitar 40% dan laju inflasi relatif tertekan, namun kemudian jumlah uang beredar dan inflasi kembali meningkat ke tingkat semula.

Referensi:
Rahardjo, M. Dawam. 1995. Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Jakarta: LP3ES
Rosidi, Ajip. 2011. Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah Swt. Jakarta: Pustaka jaya
Thee Kian Wie, ed. 2005. Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Jakarta: Kompas dan Freedom Institute

Selasa, 20 September 2011

SEJARAH BANK INDONESIA


Sebagai orang Indonesia, Anda tentu tahu dan pernah mendengar nama BI atau Bank Indonesia. Akan tetapi, mungkin ada yang tidak tahu kalau bank ini sebenarnya institusi keuangan warisan Belanda. Mari Kita ikuti riwayatnya. Semoga bermanfaat.

Nasionalisasi De Javasche Bank: Terbentuknya Bank Indonesia

Bagi sebuah negara baru, seperti halnya Indonesia, bank sentral adalah simbol kedaulatan moneter dan ekonomi, sehingga keberadaanya mutlak diperlukan. Selama periode revolusi kemerdekaan 1945-1950, Indonesia tidak memiliki bank sentral. Pada Bulan September 1945, pemerintah Indonesia menunjuk R.M. Margono Djojohadikusumo (ayah Sumitro Djojohadikusumo) untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan pembentukan sebuah bank nasional. Pada bulan Oktober 1945, pemerintah Indonesia mendirikan Yayasan Pusat Bank Indonesia. Akhirnya dengan modal pertama sebesar Rp 340.000, 5 Juli 1946, pemerintah melalui Undang-Undang No. 2 tahun 1946, mendirikan Bank Negara Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Lokasi bank pribumi pertama ini sempat pindah ke Yogyakarta karena alasan keamanan akibat adanya agresi militer Belanda (lihat Prisma, No. 7, Juli 1977: 20-21). Awalnya, melalui pembentukan BNI pemerintah berharap agar bank tersebut mampu menjalankan fungsi sebagai bank sentral maupun bank sirkulasi. Akan tetapi, akhirnya BNI tidak mampu menjalankan fungsi tersebut. Dengan demikian, walaupun pada saat itu secara yuridis formal BNI 1946 telah ditetapkan sebagai bank sentral, institusi ini tidak pernah menjalankan perannya sebagai otoritas moneter [1] 


Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa demokrasi liberal adalah pengambilalihan (nasionalisasi) Bank Belanda yang bernama De Javasche Bank, sebuah bank swasta yang didirikan pada tahun 1827 dengan modal satu juta gulden. Berdasarkan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Hindia Belanda kemudian menetapkan De Javasche Bank sebagai bank sentral. Pada saat itu De Javasche Bank masih berfungsi sebagai bank sirkulasi, yaitu bank yang bertugas mengedarkan uang kartal dan memberikan kredit kepada pemerintah. Dengan demikian, pada pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Indonesia memiliki dua bank sentral, yaitu Bank Negara Indonesia (BNI) 1946 dan De Javasche Bank. Akan tetapi, kedua-duanya belum menjalankan tugas dan fungsinya sebagai bank sentral.


Pada tanggal 30 April 1951, pemerintah Indonesia mengumumkan keinginannya untuk mengambil alih De Javasche Bank dan mengangkat Sjafruddin Prawiranegara sebagai gubernurnya menggantikan pejabat Belanda, Dr. Houwink sebagai Gubernur De Javasche Bank.  Pada masa Kabinet Sukiman, tepatnya tanggal 22 Mei 1951, dilakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank. Semua saham De Javasche Bank dibeli oleh pemerintah Indonesia dengan komponsasi 120 persen jika dibayar dengan uang Gulden atau 360 persen jika dibayar dengan Rupiah. Secara resmi Bank Indonesia ditetapkan sebagai bank sentral pada 1 Juli 1953. Mengenai nasionalisasi ini sebenarnya sempat timbul perdebatan. Sumitro Djojohadikusumo yang termasuk salah seorang peletak dasar perekonomian Indonesia pasca kemerdekaan menginginkan agar BNI dijadikan bank sentral, dengan alasan bagaimanapun primitifnya, BNI adalah bank milik sendiri. Pembentukan BNI sebagai bank sental menurut Sumitro analog dengan keinginan Tahi Bonar Simatupang  untuk menjadikan Tentara Republik menjadi Tentara Nasional Indonesia, bukan tentara KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger). Sayangnya Simatupang berhasil, sedangkan Sumitro tidak . (Berbagai sumber)






[1] Belum berfungsinya BNI 46 sebagai bank sentral di negara yang baru merdeka, seperti halnya Indonesia, sebenarnya mudah dipahami, karena di dalam perkembangannya sendiri Bank Sentral tumbuh secara gradual di berbagai belahan dunia, bahkan di negara-negara maju seperti, Inggris, Swedia, Jerman dan Amerika Serikat sekalipun. Dengan demikian, bank sentral merupakan lembaga tunggal yang tumbuh paling akhir, dapat dikatakan bahwa bank sentral adalah produk abad ke-20.

Senin, 19 September 2011

TENTANG DEKON


DEKLARASI EKONOMI: USAHA UNTUK MENGATASI KRISIS EKONOMI ORDE LAMA

Pada masa Orde Lama Sukarno kurang memahami beratnya masalah ekonomi yang dihadapi negara, dan lebih menitikberatkan pada penyelesaian masalah politik. Menurut  Sukarno pembangunan ekonomi bukanlah bagian penting dari tahapan awal pembentukan nation building. Dengan tegas Sukarno menyatakan bahwa penghapusan pengaruh Barat secara politik, ekonomi, budaya harus mendapat prioritas utama sebelum pembangunan ekonomi. Mengenai masalah ekonomi (bidang yang tidak disukainya), ia pernah menyinggungnya pada peringatan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1963 dengan mengatakan,

“I am not an economist, I am a revolutionary, and I am just a revolutionary in economic matters. My feelings and ideas about the economic question are simple, very simple indeed. They can be formulated as follows: If  nations who live in a dry and barren desert can solve the problems of their economy, why can’t we?...I have already  issued the Economic Declaration known as Dekon, and fourteen Government Regulation are also out. Now I say Only:  be patient a while longer, be patient, wait and see!”[1]
(Saya bukan seorang ahli ekonomi, saya seorang revolusioner, dan saya revolusioner dalam hal ekonomi. Gagasan dan perasaan saya tentang masalah ekonomi sebenarnya sangat sederhana. Bisa dirumuskan sebagai berikut: Jika bangsa-bangsa yang hidup di gurun pasir yang kering dan tandus saja dapat memecahkan masalah ekonomi mereka, mengapa kita tidak bisa?...saya telah mengeluarkan Deklarasi Ekonomi atau yang dikenal dengan sebagai Dekon, dan mengeluarkan empat belas Peraturan Pemerintah. Sekarang saya hanya bisa berkata: bersabar sebentar, sabar, dan lihatlah nanti). 


Untuk mengantisipasi kemerosotan ekonomi yang semakin dalam. Sukarno mengutus Subandrio, Waperdam I dan menteri luar negeri untuk menghubungi Soedjatmoko, dan meminta kesediaannya membantu merumuskan program ekonomi yang baru. Soedjatmoko kemudian menghubungi Sarbini Sumawinata,  ahli ekonomi dari Universitas Indonesia dan Kepala BPS pertama Indonesia (1955-1965). Mereka berdua kemudian membuat sebuah program ekonomi yang dikenal dengan nama Deklarasi Ekonomi (Dekon). Deklarasi Ekonomi (Dekon), yang kemudian disebut oleh MPRS sebagai “Manifesto politik perekonomian” Sukarno. Dekon menyerukan bahwa Indonesia berada dalam fase pertama revolusinya, yang memerlukan pembersihan sisa-sisa imperialisme dan feodalisme serta berusaha membangun struktur ekonomi yang berkarakter nasional dan demokratis. Pada intinya, deklarasi itu merupakan tuntutan akan pembangunan yang diprakarsai oleh negara dengan bantuan sebagian dari modal domestik dan internasional (bukan IMF).


Dekon yang diucapkan oleh Presiden Sukarno di istana negara pada tanggal 28 Maret 1963, menerangkan dengan tegas mengenai gagasan Ekonomi Terpimpin. Fokus program ekonomi dalam Dekon adalah dekonsentrasi, yang sesungguhnya mirip dengan apa yang disebut dengan deregulasi dan debirokratisasi yang kemudian digunakan oleh Orde Baru. Pidato ini menekankan  pada disiplin anggaran dan rencana perkreditan untuk program stabilisasi harga-harga. Selain itu upaya peningkatan produksi dicapai melalui program rehabilitasi, dekontrolisasi, desentralisasi, debirokrasi dan deregulasi. Prinsip dan hukum ekonomi wajib diperhatikan, sedangkan peranan tingkat harga akan dikembalikan sebagai insentif ekonomi. Peranan dan partisipasi swasta dalam kegiatan ekonomi akan dirangsang, modal asing atas dasar production sharing tidak dilarang sedangkan kredit dan utang luar negeri digunakan untuk menambah keperluan investasi di dalam negeri (Seminar KAMI, 10-20 januari 1966).


Dalam ketetapan MPRS No. XXIII tahun 1966 kata Dekon hanya disebut sekali, yakni dalam konsiderans. Disitu dinyatakan: “mengingat isi dan jiwa bagian Dekon yang dapat memenuhi Tritura dan Ampera. Bagian Dekon yang dianggap memenuhi Tritura dan Ampera itu memang tampak dalam berbagai pasal ketetapan MPRS. Misalnya, ketentuan mengenai potensi dan daya kreasi rakyat sebagai kekuatan ekonomi potensial yang harus dibangkitkan. Demikian pula ketentuan mengenai dekonsentrasi manajemen, khususnya dalam rangka pembangunan daerah. Dekon memang mengandung ketentuan yang baik, akan tetapi di dalamnya tercantum pula hal-hal yang dapat dipakai sebagai bahan gerilya politik. Antara lain, Dekon menyamaratakan begitu saja modal domestik asing (RRC) dengan modal nasional. Selain itu, untuk menanggulangi kesulitan ekonomi perlu tercapai kegotong-royongan nasonal berporoskan nasakom (Nitisastro, 2010: 133-134).




Dekon tercipta dari  latar belakang kondisi ekonomi yang memprihatinkan, terutama disebabkan oleh adanya konfrontasi dengan Belanda mengenai masalah Irian Barat, yang walaupun berakhir dengan kemenangan Indonesia (terutama karena dukungan Amerika Serikat) telah membawa pengaruh buruk pada tingkat kesejahteraan rakyat. Sebagai produk intelektual, Dekon merupakan kombinasi gagasan Soedjatmoko dan Sarbini Sumawinata, keduanya adalah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sayang sekali, rumusan Dekon yang begitu baik kandas setelah beberapa bulan dan tidak pernah dimulai. Hal ini disebabkan karena konfrontasi dengan Malaysia dan proyek nekolim yang mengepung Indonesia. Atas desakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang naik daun, Dekon harus memuat pernyataan pembuka yang menekankan pada antiimperialisme, sehingga kebijakan ekonomi rasional dalam dekon tidak tercapai atau menjadi kehilangan arahnya (Thee, ed. 2005: 86-88). Dalam sebuah dialog dengan majalah Prisma, Sarbini Sumawinata mengatakan bahwa PKI telah mengubah rumusan Dekon dari asalnya dan kemudian mengumumkannya kepada masyarakat dengan versi yang sangat berbeda. Disitu tampak jelas bahwa yang penting bagi PKI adalah aspek politik dan menganggap  pembangunan sebagai persoalan sekunder. Mereka berusaha mengalihkan perhatian orang dari usaha perbaikan ekonomi dan gagasan pembangunan seperti tertuang dalam rumusan awal Dekon dengan mengatakan bahwa fase saat itu adalah fase demokrasi nasional dengan agenda utama memerangi imperialisme dan kapitalisme (Prisma No. 10, 1986: 49).



[1] Lihat, John Bresnan, Never Before Had Five University Professors Done So Much in So Short a Time To Resurrect  The Economic Fortune of a Great Nation, in M. Arsjad Anwar, et.al., eds. 2007. Tributes For Widjojo Nitisastro by Friends from 27 Foreign Countries. Jakarta: Kompas, p. 73

GERAKAN BENTENG SUMITRO


Latar Belakang Lahirnya Gerakan Benteng

Pelaksanaan Rencana Urgensi Perekonomian didahului oleh suatu program yang disebut Gerakan atau Program Benteng. Program Benteng mengawali gelombang transformasi ekonomi yang dipaksakan untuk menghadirkan kelas pengusaha pribumi. Program Benteng digagas pada tahun 1950 oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian ketika itu, Sumitro Djojohadikusumo. Sumitro yang kala itu merupakan wakil Partai Sosialis Indonesia dalam kabinet Natsir (Masyumi), melihat menumpuknya beban pemerintahan RI karena utang warisan penjajah Belanda sebesar Rp 4,3 Milyar sungguh sangat membebani republik muda usia itu. Beban utang itu adalah ibarat harga kemerdekaan RI yang mesti ditebus oleh Indonesia kepada pemerintah kolonial Belanda yang tertuang dalam Konferensi Meja Bundar 1949 di Den Haag, Belanda. Beban mengangsur utang warisan itu memperlambat kesempatan RI muda untuk membangun infrastruktur. Sumitro hadir membawa solusi revolusioner; memberi kredit impor seluas-luasnya hanya kepada pengusaha pribumi sehingga diharapkan bisa memicu pertumbuhan ekonomi nasional. 

Meski berbau sedikit kapitalistik, namun program yang diperuntukan sepenuhnya untuk memproteksi pengusaha pribumi ini diharapkan bisa meruntuhkan dominasi asing-yang kala itu masih dikuasai oleh oligopoli perusahaan Belanda dan Inggris. Pertumbuhan ekonomi yang dipelopori oleh pribumi tentu akan meringankan beban pemerintah membangun infrastruktur. Perusahaan oligopoli ini dikenal dengan nama The Big Five, yakni perusahaan dagang Belanda yang terdiri atas Borsumij, Jacobson van den Berg, Geo Wehry, Internatio dan Lindeteves. Tiga perusahaan pertama muncul pada pertengahan abad ke 19 bergerak dan di bidang perdagangan dan investasi. Internatio bergerak di sektor perbankan, sedangkan lindeteves bergerak dalam bidang permesinan. Di akhir tahun 1957 semua perusahaan Belanda (termasuk The Big Five) dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Setelah dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, kelima perusahaan ini berganti nama, Borsumij menjadi PT. Indevitra, Jacobson menjadi PT. Yuda Bhakti, Geo Wehry menjadi PT. Triangle, Internatio menjadi PT. Satya Negara dan Lindeteves menjadi PT. Indestins.[1]

Program Benteng dan Pengusaha Ali-Baba
Istilah ‘Benteng terhadap ide Sumitro ini diberikan karena pada dasarnya program tersebut berusaha membangun kewirausahaan pribumi agar mampu membentengi perekonomian negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Selain itu, juga untuk meningkatkan daya saing di luar negeri, bukan saja dengan bisnis Barat (Belanda), tetapi juga dengan jaringan bisnis etnis Cina di seluruh dunia. Dalam program ini lisensi impor dari berbagai jenis barang yang mudah dijual diberikan kepada pengusaha pribumi. Pengaruh Program Benteng terhadap pelaksanaan rencana Urgensi Perekonomian ternyata sangat menentukan jalannya perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional mengingat sebagian besar rakyat pada saat itu berada dalam taraf kehidupan yang rendah. Sebagian penyebab rendahnya tingkat kesejahteraan timbul karena adanya kenyataan adanya dominasi perusahaan-perusahaan asing yang berorientasi ekspor. Hal yang paling ambisius dari RUP,dan yang paling banyak mengundang kritikan, adalah sejumlah proyek industri skala besar, disamping sejumlah rencana untuk mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dalam rangka mendukung programnya, atas anjuran Sumitro, sebuah bank khusus milik pemerintah dibentuk dengan nama Bank Industri Negara (BIN)[2]. Dengan demikian, RUP telah mengantarkan BIN sebagai perintis ekonomi, karena dalam waktu singkat telah bertanggung jawab atas pengelolaan dan pembiayaan proyek industri gagasan Sumitro.

Ditinjau dari segi pengendalian nasional, Program Benteng berjalan cukup berhasil, pada pertengahan tahun 1950-an, sekitar 70 persen perdagangan impor dilakukan oleh pengusaha pribumi Indonesia. Fokus program Benteng dalam perdagangan impor didasarkan pada pertimbangan bahwa perdagangan impor paling mudah dikendalikan oleh negara melalui alokasi lisensi impor. Akan tetapi, program ini memiliki kelemahan karena dalam waktu singkat bermunculan importir-importir yang tidak memiliki keterampilan dan pengalaman bisnis dalam perdagangan impor. Menurut Soedarpo Sastrosatomo, salah seorang pejuang kemerdekaan dan tokoh bisnis pribumi ternama, banyak diantara mereka (para pengusaha pribumi) yang tidak memahami seluk beluk perdagangan impor, misalnya bagaimana mengurus pendokumentasian impor atau cara mendanainya (Thee, 2005: 143). Mereka disebut “importir aktentas”, yaitu pengusaha tidak bermodal dan tidak berkantor. Mereka berhasil memiliki lisensi namun tidak mempunyai dana dan keahlian sehingga terpaksa mengandalkan kapitalis yang terampil (umumnya etnis China) yang memiliki sumber finansial serta manajerial namun secara politis tidak mampu mendapatkan lisensi. Dengan membawa aktentas, mereka keluar-masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor bermacam barang dan menjualnya kepada pengusaha Cina. Program Benteng telah membuka peluang kegiatan memburu rente (rent seeking), dan kurang berhasil mengembangkan wirausahawan pribumi yang tangguh dan mandiri. Dengan kata lain, Program Benteng dikatakan mengalami kegagalan, penyebabnya bersumber pada pemberian hak eksklusif impor barang yang tidak didasarkan atas keterampilan atau pengalaman, tetapi lebih didasarkan atas kedekatan atau hubungan pribadi. Kondisi ini disadari oleh Sumitro dan mengatakan bahwa dari dari sepuluh orang penerima program benteng hanya tiga orang pengusaha sejati, sedangkan sisanya adalah benalu (Thee, 2004: 44-45).

Repotnya, program yang telah dirancang sejak kabinet Natsir dan praktiknya sudah melenceng jauh ini ternyata diteruskan dengan penuh semangat oleh Mr. Iskaq Tjokroahadisuryo,  seorang tokoh ultranasionalis pendiri PNI yang menjabat menteri perekonomian pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Agustus 1953-November 1954). Berawal dari Program Benteng, importir aktentas menjualnya lisensi impor yang telah dikantonginya kepada pedagang Cina. Kerjasama inilah yang kemudian dikenal dengan nama program Ali-Baba. ‘Ali’ sebagai idiom untuk pengusaha pribumi, dan ‘Baba’ mewakili pedagang Cina. Eksperimen untuk mengangkat nasib pengusaha pribumi  berubah menjadi arena korupsi dan kolusi. Bank Negara Indonesia diharuskan membiayai program pribumiisasi tersebut, meskipun alternatif pembiayaan dalam bentuk bursa efek telah dibuka pada saat itu (tahun 1952), tetapi pengusaha pribumi tidak berminat karena telah terbiasa dengan kredit bank, yang dananya berasal dari pemerintah juga. Program Benteng akhirnya secara resmi dihentikan pada tahun 1957 oleh Menteri Perekonomian, Ir. Rooseno Surjohadikusumo, atas dasar menghilangkan diskriminasi rasial dalam praktik perekonomian negara. 



[1] lihat antara lain Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, hal. 193, atau Wanda Mulya, Struktur Perdagangan Sejak Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin, dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia, jilid 2, hal. 207
[2] Margono Djojohadikusumo Presiden Direktur BNI, ditetapkan untuk merangkap jabatan yang sama di BIN. Selama periode 1952-1955, BIN telah membiayai beberapa pembangunan industri ringan dan berat sekaligus.