Minggu, 25 September 2011

MASA DEMOKRASI LIBERAL

Kabinet Natsir dalam Pembangunan
Ekonomi Indonesia

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) merupakan kabinet pertama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kabinet pertama pada masa demokrasi liberal (demokrasi konstitusional). Walaupun berumur singkat (sekitar 6 bulan), Kabinet Natsir adalah kabinet  yang paling banyak memberikan perhatian pada usaha perbaikan di bidang ekonomi. Di bawah Kabinet Natsir, persoalan-persoalan ekonomi, moneter dan perbankan mulai dilihat dengan kacamata yang lebih teknis dan profesional. Pada saat itu, pemerintah langsung dihadapkan kepada masalah ekonomi-moneter seperti tingginya laju inflasi akibat meningkatnya jumlah uang beredar dan juga defisit ganda (APBN dan Neraca Pembayaran). Kabinet yang dibentuk berdasarkan UUDS 1950 ini merupakan zaken kabinet (kabinet ahli). Kabinet ini mencantumkan antara lain beberapa program ekonomi yaitu pertama, usaha yang berkaitan dengan mengembangkan dan memperkokoh ekonomi kerakyatan sebagai dasar ekonomi nasional yang sehat melalui pengaturan hubungan buruh dan majikan serta kedua usaha yang berkaitan dengan pembangunan perumahan rakyat. 


Sjafruddin Prawiranegara yang pada saat itu menjabat sebagai menteri keuangan memiliki kebijakan yang konsekuen dan sejalan dengan konsentrasi kabinet Natsir terhadap kebutuhan-kebutuhan bagi pembangunan kembali perekonomian dan pemulihan keamanan. Begitu pun Sumitro Djojohadikusumo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dengan tegas mengatakan bahwa Ia ingin mengembangkan kekuatan ekonomi pribumi Indonesia di bidang perdagangan dan perindustrian. Dalam hal ini Sumitro mengatakan,“adalah suatu penyimpangan dari cita-cita kemerdekaan jika kekuatan ekonomi pribumi tidak mendapat prioritas untuk dikembangkan”. Untuk tujuan ini, Kabinet Natsir kemudian meluncurkan Rencana Urgensi Industri sebagai upaya untuk mengembangkan industri nasional pribumi yang didahului dengan Program Benteng. Untuk memfasilitasi pelaksanaan program pembangunan ini, pemerintah mendirikan Bank Industri Negara (BIN), menata kembali Bank Rakyat dan Bank Negara Indonesia (BNI).  


Kabinet Natsir beruntung karena berhasil memanfaatkan situasi Perang Korea untuk kepentingan pembangunan. Kondisi eksternal yang menguntungkan tersebut melahirkan istilah Korean Boom, yaitu meningkatnya ekspor komoditas strategis Indonesia (terutama karet) kepada Amerika Serikat sehingga mampu mengatasi kesulitan dalam anggaran pemerintah maupun  neraca pembayaran Indonesia. Pada saat terjadi Perang Korea (Juni 1950), pendapatan Indonesia dari ekspor karet dan minyak bumi melonjak yang menyebabkan terjadinya surplus dalam anggaran belanja pemerintah tahun 1951. Natsir pernah dikecam oleh para politisi yang mengejar kekuasaan politik di Jakarta karena menolak untuk menggunakan pendapatan-pendapatan tersebut untuk keuntungan mereka. Sayangnya, pengaruh baik eksternal ini tidak bertahan lama. Tambahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh 'rezeki nomplok' akibat perang itu hanya berlangsung sesaat, karena kemudian diikuti oleh melonjaknya keinginan konsumtif (pemerintah dan swasta) untuk mengimpor barang yang menguras devisa yang ada. Melonjaknya impor yang disertai dengan kenaikan upah dan harga-harga telah meningkatkan laju inflasi, sehingga ekspor pun tidak kompetitif lagi. Kondisi seperti ini merupakan suatu fenomena yang belakangan dikenal sebagai sindrom Dutch Diseases (gejala perekonomian yang hanya bertumpu pada satu sektor). Pendapatan tambahan devisa ini begitu cepatnya menguap, sehingga anggaran belanja 1952 mengalami defisit lebih besar dari tahun 1950. Dengan demikian, setelah Korean boom berakhir dan bertukar dengan Korean slump, kondisi ekonomi kembali mengalami kemunduran karena harga bahan-bahan strategis termasuk karet Indonesia menjadi merosot tajam. Dengan kemunduran di bidang ekonomi itu, pemerintah mengahadap defisit hingga mencapai Rp 9 milyar (sebuah angka yang cukup besar pada saat itu). 

Untuk menghindari inflasi yang tinggi di dalam negeri, pemerintah melakukan liberalisasi impor dan pengetatan anggaran. Kredit yang diperketat untuk perusahaan asing, dan kemudahan memperoleh kredit untuk perusahaan pribumi nasional. Kombinasi kebijakan fiskal yang ketat dan penerimaan yang tinggi dari ekspor sempat menghasilkan surplus anggaran yang cukup besar pada tahun 1951. Akan tetapi, hanya pada tahun itulah APBN mengalami surplus. Seterusnya anggaran negara mengalami defisit, sekalipun beberapa kabinet berusaha keras untuk menguranginya. Dengan demikian, prestasi terbesar kabinet ini adalah pencapaian surplus anggaran dan perbaikan neraca pembayaran. 

Enam bulan setelah mengucapkan sumpah sebagai perdana menteri, kabinet Natsir jatuh. Salah satu penyebab kejatuhannya yaitu bahwa isu mengenai masalah Irian Barat tidak hanya menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Indonesia pasca pengakuan kedaulatan, tetapi juga telah dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya di dalam negeri untuk melawan Natsir.


Referensi
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Glassburner, Bruce. 2007. The Economy of Indonesia: Selected Readings. Jakarta: Equinox Publishing
Notosusanto, Nugroho et.al., ed. 1991. Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Ricklefs, M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar