Kabinet Natsir dalam
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) merupakan
kabinet pertama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kabinet pertama
pada masa demokrasi liberal (demokrasi konstitusional). Walaupun berumur
singkat (sekitar 6 bulan), Kabinet Natsir adalah kabinet yang paling
banyak memberikan perhatian pada usaha perbaikan di bidang ekonomi. Di bawah
Kabinet Natsir, persoalan-persoalan ekonomi, moneter dan perbankan mulai
dilihat dengan kacamata yang lebih teknis dan profesional. Pada saat itu,
pemerintah langsung dihadapkan kepada masalah ekonomi-moneter seperti tingginya
laju inflasi akibat meningkatnya jumlah uang beredar dan juga defisit ganda
(APBN dan Neraca Pembayaran). Kabinet yang
dibentuk berdasarkan UUDS 1950 ini merupakan zaken kabinet (kabinet ahli). Kabinet ini mencantumkan antara lain
beberapa program ekonomi yaitu pertama,
usaha yang berkaitan dengan mengembangkan dan memperkokoh ekonomi kerakyatan
sebagai dasar ekonomi nasional yang sehat melalui pengaturan hubungan buruh dan
majikan serta kedua usaha yang
berkaitan dengan pembangunan perumahan rakyat.
Sjafruddin Prawiranegara yang pada saat itu menjabat sebagai menteri keuangan
memiliki kebijakan yang konsekuen dan sejalan dengan konsentrasi kabinet Natsir
terhadap kebutuhan-kebutuhan bagi pembangunan kembali perekonomian dan
pemulihan keamanan. Begitu pun Sumitro Djojohadikusumo yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Perdagangan dan Industri dengan tegas mengatakan bahwa Ia ingin
mengembangkan kekuatan ekonomi pribumi Indonesia di bidang perdagangan dan
perindustrian. Dalam hal ini Sumitro mengatakan,“adalah suatu penyimpangan dari
cita-cita kemerdekaan jika kekuatan ekonomi pribumi tidak mendapat prioritas
untuk dikembangkan”. Untuk tujuan ini, Kabinet Natsir kemudian meluncurkan
Rencana Urgensi Industri sebagai upaya untuk mengembangkan industri nasional
pribumi yang didahului dengan Program Benteng. Untuk memfasilitasi pelaksanaan
program pembangunan ini, pemerintah mendirikan Bank Industri Negara (BIN),
menata kembali Bank Rakyat dan Bank Negara Indonesia (BNI).
Kabinet Natsir beruntung karena berhasil memanfaatkan situasi Perang Korea
untuk kepentingan pembangunan. Kondisi eksternal yang menguntungkan tersebut
melahirkan istilah Korean Boom, yaitu
meningkatnya ekspor komoditas strategis Indonesia (terutama karet) kepada
Amerika Serikat sehingga mampu mengatasi kesulitan dalam anggaran pemerintah
maupun neraca pembayaran Indonesia. Pada saat terjadi Perang Korea (Juni
1950), pendapatan Indonesia dari ekspor karet dan minyak bumi melonjak yang
menyebabkan terjadinya surplus dalam anggaran belanja pemerintah tahun 1951.
Natsir pernah dikecam oleh para politisi yang mengejar kekuasaan politik di
Jakarta karena menolak untuk menggunakan pendapatan-pendapatan tersebut untuk
keuntungan mereka. Sayangnya, pengaruh baik eksternal ini tidak bertahan lama.
Tambahan kesejahteraan yang ditimbulkan oleh 'rezeki nomplok' akibat perang itu
hanya berlangsung sesaat, karena kemudian diikuti oleh melonjaknya keinginan
konsumtif (pemerintah dan swasta) untuk mengimpor barang yang menguras devisa
yang ada. Melonjaknya impor yang disertai dengan kenaikan upah dan harga-harga
telah meningkatkan laju inflasi, sehingga ekspor pun tidak kompetitif lagi.
Kondisi seperti ini merupakan suatu fenomena yang belakangan dikenal sebagai
sindrom Dutch Diseases (gejala perekonomian yang hanya bertumpu pada satu sektor). Pendapatan
tambahan devisa ini begitu cepatnya menguap, sehingga anggaran belanja 1952
mengalami defisit lebih besar dari tahun 1950. Dengan demikian, setelah Korean
boom berakhir dan bertukar dengan Korean slump, kondisi ekonomi
kembali mengalami kemunduran karena harga bahan-bahan strategis termasuk karet
Indonesia menjadi merosot tajam. Dengan kemunduran di bidang ekonomi itu,
pemerintah mengahadap defisit hingga mencapai Rp 9 milyar (sebuah angka yang
cukup besar pada saat itu).
Enam bulan setelah mengucapkan sumpah sebagai perdana menteri, kabinet Natsir jatuh. Salah satu penyebab kejatuhannya yaitu bahwa isu mengenai masalah Irian Barat tidak hanya menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Indonesia pasca pengakuan kedaulatan, tetapi juga telah dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya di dalam negeri untuk melawan Natsir.
Referensi
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga
Glassburner, Bruce. 2007. The Economy of Indonesia: Selected Readings.
Jakarta: Equinox Publishing
Notosusanto, Nugroho et.al.,
ed. 1991. Pejuang dan Prajurit: Konsepsi
dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Ricklefs,
M.C. 1999. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar